Bila Kuputuskan Setia pada PKS, So What?
Judul ini pasti melukai perasaan para pembenci PKS, tapi tak mengapa. Alih-alih latihan. Berlatih belajar meningkatkan kualitas kesabaran. Belajar memperhalus ego, mengelola emosi dan melihat sesuatu secara jernih. Salah satu cara menjadi manusia berkualitas adalah belajar mencintai sesuatu yang kita benci. Juga bersedia mempelajari apa-apa yang oleh ego, oleh orang lain dan oleh media diperintahkan untuk membenci.
Mencintai sesuatu yang disuruhkan oleh media untuk membenci, memang pekerjaan paling sulit. Lebih mudah untuk membenci apa yang disuruhkan media untuk membenci. Hanya ia yang “terpilih”, yang mampu mengambil sudut pandang yang berbeda. Yaitu ia yang bersedia bijak dan bajik memandang sesuatu dalam kehidupannya. Juga, ia yang bersedia bijak dan bajik dalam memandang kehidupan orang lain.
Sebagai pemerhati masalah ketidakbahagiaan, saya terusik dengan perkembangan bacaan di Kompasiana. Makin ke sini, saya mengamati makin bertambah saja jumlah orang-orang yang hidupnya tidak bahagia. Dan lucunya, ketidakbahagiaan itu disebabkan oleh kecintaan dan ketidakcintaannya yang “terlalu” pada salah satu partai politik.
Ketika saya mendukung bang Haji jadi capres, saya dicemooh. Katanya, bang Haji pecinta wanita. Ketika saya dukung Bu Mega jadi capres, saya dicemooh, katanya sudah berapa asset Negara dijual pada masa kepresidenannya. Ketika saya cerita kalau Soeharto adalah pemimpin idola saya, saya dicemooh. mereka bilang Soeharto korup. Ketika saya dukung Prabowo jadi capres, saya pun dicemooh. Katanya Prabowo punya kesalahan pelanggaran HAM berat, begitu pula dengan Wiranto. Ah…selalu ada dua kutub dalam setiap kejadian. Para pembenci dan para pecinta.
Ketika beberapa orang dari PKS diberitakan berbuat amoral, maka saya membenci institusi PKS. Saya buru-buru mengambil kesimpulan bahwa PKS itu bobrok. Sama bencinya ketika oleh media, saya diberitahu tentang kesalahan yang mungkin dilakukan MN dan AU, juga AS. Saya menjadi benci Partai Demokrat. Sama persis ketika saya yang sama sekali tidak kenal seorang ARB, diberitahu media tentang berita Lapindo. Saat itu juga saya benci Golkar.
Lama-lama saya merenung. Mengapa kebahagiaan dan ketidakbahagiaan saya mesti ditentukan oleh kecintaan dan kebencian orang lain? Mengapa saya menjadi gemar membuat kesimpulan yang tidak bijak terhadap orang lain dan sesuatu.
Bicara tentang Partai Politik, saya tidak menemukan ada yang salah dengan plat form setiap partai politik. Bila dilihat secara jernih melalui tulisan mereka (Partai Politik), tidak ada yang buruk tentang cita-cita, visi dan misi mereka.
Dahulu, saya pernah diajarkan satu peribahasa, “Karena nila setitik, maka rusak susu sebelanga”. Ahh.., setelah saya bersedia berpikir jernih, itu hanya cerita yang khusus berlaku untuk susu saja.
Dalam sebuah kelembagaan yang bernama partai, tetap saja, disamping ada pribadi-pribadi baik dan mulia, selalu ada pribadi-pribadi yang rapuh dan mudah tergelincir. Bagi saya, makhluk yang tergelincir adalah “pemberi pelajaran-pelajaran penting”, baik bagi partainya maupun bagi siapapun diluar partainya.
Lagi pula, situasi ini bukan hanya berlaku dalam kelembagaan yang bernama legislative. Dalam lembaga eksekutif pun demikian. Juga dalam lembaga yudikatif. Kemuliaan dan kenistaan perilaku adalah urusan perseorangan. Siapa yang berbuat, ia harus bertanggung jawab. Pemaafan memang harus diberikan kepada pribadi-pribadi yang tergelincir, tetapi kepercayaan harus dibangun sendiri oleh yang bersangkutan dan yang terlibat di dalamnya. Salah satu cara memperoleh kembali kepercayaan adalah melalui bersikap hormat dan melaksanakan putusan pengadilan.
Artinya, Silakan PKS, Demokrat, Golkar, Gerindra, PDIP, Hanura dan partai lainnya jalan terus! Setia kepada pencapaian cita-cita luhur dan mulia demi seluruh bangsa Indonesia. Tidak perlu risau terhadap perbuatan nista orang per orang dalam setiap partai, yang sedang keliru dan tergelincir.
Bagi yang masih suci, silakan saling bahu membahu dalam pekerjaan besar, menyelaraskan langkah dan perbuatan dengan tujuan, visi dan misi yang mulia, itulah yang paling utama. Sebab, saya yakin, cita-cita partai secara institusional, pasti tidak buruk.
Bagi yang hari ini digerakkan ego/media/orang lain untuk membenci Demokrat karena berita MN, AU dan AS, digerakkan ego/media/orang lain agar membenci PKS karena LHI dan berita AF, digerakkan ego/media/orang lain agar membenci Golkar karena kasus ARB, yang membenci seisi lembaga hanya karena kemungkinan ketergelinciran beberapa orang, mari temani saya belajar bercermin…
Sudah suci dan luruskah jalan saya selama ini, sebagai perawan, sebagai perjaka, sebagai perempuan, sebagai lelaki, sebagai ibu, sebagai ayah, sebagai istri, sebagai suami, sebagai guru, sebagai PNS, sebagai dosen, sebagai pilot, sebagai pramugari/a, sebagai TKI, sebagai TKW, sebagai pengangguran, sebagai pengacara, sebagai dokter, sebagai perawat, sebagai pegawai swasta, sebagai pedagang yang membubuhkan pengawet pada makanan yang saya jual, sebagai sopir, sebagai orang yang beragama, sebagai orang yang tidak beragama, sebagai konsultan, sebagai menteri, sebagai ustad, sebagai santri, sebagai penjual jamu, sebagai penulis, sebagai pengusaha, sebagai pemilik penginapan, sebagai wartawan, sebagai jurnalis, sebagai penulis di Kompasiana, dan sebagai apa saja…semua bergerak menuju cermin. Lau bertanya, sudah suci dan luruskah gerak-gerik saya selama ini?
Jadi? Mengapa saya buat judul seperti itu? Supaya Anda ingin tahu apa sebenarnya yang ingin saya tulis. Dan inilah tulisan saya hari ini.
Terima kasih sudah membaca. Terima kasih Allah SWT. Terima kasih pada semua yang menginspirasi. Salam bahagia dan terus berkarya!
Aridha Prassetya
Sumber